December 4, 2024

Konsumen dan Pelaku Usaha Kecil HPTL Minta Perlindungan

2 min read

Rokok elektronik

Jakarta – Produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, dan snus, dikembangkan dengan mengedepankan prinsip pengurangan risiko. Terkait dengan hal tersebut, Sekretaris Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita berharap pemerintah dapat mengkaji fakta dan hasil penelitian ilmiah, sebelum nantinya dapat merumuskan regulasi yang sesuai dengan karakteristik dan profil risiko dari produk ini.

Setelah fakta dikaji dan dijadikan landasan regulasi, kehadiran aturan ini dipercaya akan menciptakan dampak positif bagi pemerintah dalam aspek kesehatan dan ekonomi. Garindra melanjutkan, aturan tersebut akan semakin memberikan keyakinan kepada perokok dewasa bahwa produk HPTL memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok, sehingga dapat dijadikan alternatif untuk beralih dari rokok.

“Apabila didukung secara penuh, tentunya dapat menurunkan prevalensi perokok. Hal ini tentunya dapat menekan biaya kesehatan yang cukup tinggi,” ujar Garindra saat dihubungi wartawan.

Adapun dari aspek ekonomi, menurut Garindra keberadaan regulasi akan semakin memperkuat industri HPTL. Mayoritas pelaku usaha di industri ini tergolong dalam Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sebelum adanya pandemi, industri HPTL turut berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru.

Berdasarkan data APVI per 2020, industri HPTL telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 50 ribu orang. Angka ini belum termasuk tenaga kerja yang ada di toko retailer rokok elektrik, yang jumlahnya mencapai 3.500 toko di seluruh Indonesia. Toko retailer tersebut mayoritas terpusat di Jawa dengan jumlah 2.300 toko, sementara sisanya berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Meskipun demikian, industri HPTL masih sangat baru dan butuh dukungan pemerintah untuk terus berkembang.

“Dengan adanya regulasi khusus bagi industri HPTL, maka akan memperkuat eksistensi industri dan meningkatkan kepercayaan baik bagi konsumen maupun investor,” katanya.

Selain mengenai profil risiko, dalam regulasi tersebut nantinya juga diharapkan untuk mencakup tentang standar produk, bahan baku, sistem penjualan dan pengawasan, serta kategori konsumen. Produk ini hanya ditujukan bagi perokok dewasa. Anak-anak di bawah usia 18 tahun, non-perokok, ibu hamil serta menyusui dilarang untuk menggunakan produk ini.

Regulasi tentunya juga harus diperkuat dengan edukasi. “Aspek-aspek ini yang cukup penting untuk diregulasikan, dilaksanakan bersamaan dengan edukasi agar produk HPTL hanya digunakan oleh perokok dewasa,” tegas Garindra.

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo juga menekankan pentingnya regulasi khusus bagi produk HPTL. “Pelaku usaha boleh jualan dengan berbagai syaratnya, agar dari sisi konsumen juga terlindungi. Anak di bawah usia 18 tahun serta ibu hamil tidak boleh. Yang seperti ini memang seharusnya diatur,” ucapnya.

Menurutnya, kehadiran aturan akan bermanfaat bagi masyarakat, terutama perokok dewasa. Jika aturan masih disamakan dengan rokok, maka perokok dewasa enggan beralih ke produk yang lebih rendah risiko.

“Produk ini bertujuan untuk mengurangi risiko. Jadi dari segi kesehatan masyarakat, bisa mengurangi dampak buruk yang diakibatkan dari kebiasaan merokok,” ujar Bimmo.