December 2, 2024

Kepala BKPM: Investor Bawa Modal dan Teknologi, Izinnya Kami Bantu

2 min read

Bahlil Lahadalia

Jakarta – Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang negatif terhadap realisasi investasi di Indonesia. Jika tidak ditangani dengan baik, realisasi investasi tidak akan mencapai target, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat nilai realisasi investasi di kuartal II-2020 sebesar Rp 191,9 triliun. Perinciannya, sebesar Rp 94,3 triliun merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sementara sebesar Rp 97,6 triliun merupakan Penanaman Modal Asing (PMA).

Dibandingkan periode sama tahun lalu, total nilai investasi di kuartal II-2020 turun sebesar 4,3%. Realisasi PMA turun lebih dalam, yakni sebesar 6,9%. Sementara jika dibandingkan kuartal I-2020, realisasi investasi di kuartal II-2020 turun hingga 8,9%. PMDN tercatat anjlok hingga 16,4%.

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengakui, pencapaian realisasi investasi di kuartal II-2020 di bawah target yang ditetapkan yakni diatas Rp 200 triliun. Tidak tercapainya target realisasi investasi di kuartal II ini disebabkan karena pandemi COVID-19.

“Harus kami akui, triwulan II ini periode yang sangat berat karena kondisi COVID-19,” ujar Bahlil dalam konferensi pers secara daring, kemarin, Rabu (22/7).

Menurut Bahlil penurunan realisasi investasi asing disebabkan ekonomi global yang sedang lesu akibat dampak wabah virus corona. Bukan karena investor asing tidak percaya dengan Indonesia. Untuk mencapai target tahun ini, Bahlil mengatakan BKPM akan terus mengejar investor yang telah menyatakan komitmen untuk menanamkan modal di Indonesia.

Terpisah, peneliti ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan hal yang tak kalah penting adalah perlu ada insentif yang ditawarkan untuk menarik investasi. Dengan demikian Indonesia memiliki peluang yang sama dengan negara lain di mata investor.

Misalnya saja Vietnam yang memberikan kemudahan regulasi investasi, biaya ekspor yang lebih efisien, sampai infrastruktur yang dipersiapkan untuk mendukung industri. “Kalau kebijakan mereka itu bagus, kenapa kita tidak copy paste saja,” ujar Enny.

Hanya saja, Enny menekankan, insentif tersebut harus bisa diterapkan oleh pelaku usaha. Jangan sampai kebijakan tersebut bagus di atas kertas tetapi ketika akan dieksekusi sulit untuk diapikasikan. “Sebenarnya kita sudah menyediakan insentif, namun sering kali sulit untuk diapilkasikan,” katanya.

Sementara itu, Bahlil mengatakan BKPM akan fokus membantu investor mengurus berbagai hal yang dibutuhkan seperti perizinan dari daerah hingga pusat. Asalkan, investor tersebut benar-benar serius menanamkan modal di Indonesia. “Investor yang bawa modal, bawa teknologi, izinnya kami bantu. Contoh di Kawasan Industri Batang. Kami bikin tanahnya murah, izinnya cepat,” katanya.

Menurut Bahlil, BKPM saat ini proaktif mengejar investor yang telah menyatakan komitmennya dan berkomunikasi dengan mereka untuk mengetahui hambatan yang dihadapi investor. Saat ini, BKPM telah memiliki Tim Mawar, tim khusus yang dibentuk secara khusus untuk menggaet investor. “Tim Mawar mengikuti per hari, menanyakan tiap hari ke investor dan meyakinkan mereka,” kata Bahlil.

BKPM juga akan memfasilitasi permintaan investor jika mereka serius merealisasikan komitmennya. Terkait insentif fiskal, misalnya, investor baik yang baru mau datang maupun yang sudah datang sering menanyakan mengenai insentif pajak ke BKPM.

Dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2019, kewenangan pemberian insentif fiskal sudah beralih dari Kementerian Keuangan ke BKPM. Aturan tersebut membuat pemberian insentif fiskal bisa dilakuan lebih cepat. “BKPM tidak perlu lagi berlama-lama memutuskan pemberian insentif fiskal selama memenuhi kaidah yang diminta dalam Peraturan Menteri Keuangan,” ujar Bahlil.