IYPG: Indonesia Perlu Maksimalkan Konsep Pengurangan Risiko
3 min readYogyakarta – Berbagai upaya sudah dilakukan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dalam menekan angka perokok di Indonesia, namun hasilnya belum optimal. Di sisi lain, sejumlah negara maju, seperti Inggris dan Jepang, telah melakukan studi dan kajian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif yang kemudian dijadikan acuan untuk membuat regulasi. Hasilnya, jumlah perokok di negara tersebut mengalami penurunan.
Minimnya informasi yang akurat terhadap produk tembakau alternatif mendorong Indonesia Young Pharmacist Group (IYPG) bersama Koalisi Bebas TAR (KABAR) menggelar seminar dengan tema “Pengurangan Bahaya Tembakau dan Upaya Berhenti Merokok Dalam Perspektif Farmasi dan Kesehatan Publik” di Yogyakarta, hari ini. Ketua IYPG, Arde Toga Nugraha, menyatakan seminar diadakan untuk memberikan pemahaman kepada apoteker bahwa mereka memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan konsep pengurangan risiko terhadap produk tembakau yang dibakar.
Konsep ini merupakan sebuah upaya untuk mengurangi penyakit berbahaya yang disebabkan oleh rokok. Caranya dengan memberikan pilihan kepada perokok dewasa untuk beralih ke produk tembakau yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok, seperti nikotin tempel, produk tembakau yang dipanaskan, dan rokok elektrik.
“Untuk menyukseskan konsep pengurangan risiko, tentu saja memerlukan peran besar dari berbagai pihak, termasuk para praktisi apoteker. Kita bisa mengambil contoh seperti di Selandia Baru, apoteker di sana menginformasikan produk tembakau alternatif untuk memberikan pilihan bagi perokok dewasa beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko,” kata Arde dalam keterangan resminya, Sabtu (9/11).
Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjajaran, Ardini Raksanagara, menambahkan apoteker dapat menyampaikan informasi mengenai perbedaan antara nikotin dan TAR. Sampai saat ini, publik masih berpendapat keduanya sama berbahaya bagi kesehatan. Meskipun dapat memberikan efek adiktif dan psikoaktif, perlu diketahui bahwa nikotin bukan penyebab utama penyakit berbahaya terkait rokok. Justru TAR, yang mengandung berbagai senyawa karsinogenik, yang dapat menyebabkan kanker.
“Apoteker memiliki peran yang sangat penting untuk meluruskan kesalahan persepsi di publik. Perokok dewasa seharusnya punya akses informasi terhadap fakta ilmiah dan penelitian yang kredibel, sehingga mereka paham apa perbedaan nikotin dan TAR yang terdapat dalam rokok termasuk langkah alternatif yang dapat membantu mengurangi risiko kesehatan mereka,” ujar Ardini.
Selain itu, Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, melanjutkan publik masih beranggapan bahwa produk tembakau alternatif juga menghasilkan TAR. Hal tersebut membuat perokok dewasa enggan beralih ke produk tembakau alternatif. Padahal, penggunaan dari produk tembakau alternatif tidak menghasilkan asap dan TAR. Produk tembakau alternatif ini menghasilkan uap dan memiliki peran sebagai medium penghantar nikotin bagi perokok dewasa. Dengan begitu, produk ini memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.
Hasil penelitian dari Institute Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment/BfR) menunjukan bahwa salah satu produk tembakau alternatif yaitu produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80 sampai 90 persen dibandingkan rokok.
“Kajian ilmiah sudah membuktikan produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok. Sejumlah negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk menurunkan bahaya kesehatan dari rokok. Dengan kondisi sekarang ini, partisipasi dari apoteker dapat memberikan perspektif baru bagi perokok dewasa dan pemerintah,”kata Amaliya.
Tidak cukup hanya memiliki pengertian yang akurat mengenai produk tembakau alternatif, untuk mendorong pencapaian tujuan pengurangan risiko, maka perlu diperkuat dengan regulasi. Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) dan Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo, menyatakan konsep pengurangan risiko harus mendapatkan dukungan dari pemerintah melalui regulasi khusus yang terpisah dari rokok. Saat ini, dukungan pemerintah terhadap konsep tersebut direalisasikan melalui pengaturan tarif cukai bagi produk tembakau alternatif, yang dikategorikan di segmen Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
“Walaupun tarif cukai yang diterapkan masih relatif cukup besar yaitu 57%, kita bisa mengapresiasi pemerintah karena sudah melakukan tindakan yang tepat dengan memberikan kepastian hukum terhadap produk tembakau alternatif di Indonesia,” katanya.
Hal ini tentu mendukung pencapaian tujuan pengurangan risiko. Namun dengan tarif cukai yang masih relatif besar ini, pihaknya juga berharap pemerintah tidak menaikkan beban cukai ataupun Harga Jual Eceran minimum HPTL sehingga perokok dewasa dapat menjangkau produk tembakau yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok ini. “Selain itu, produk ini perlu diperkuat dengan regulasi lainnya sehingga kehadiran produk ini semakin memberikan manfaat,” tutup Ariyo.