Destruktif, Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Inisiatif Kemenkes Dikecam Parlemen
3 min readJakarta – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 mengenai pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik telah menuai banyak kritik dari anggota legisIasi. Kebijakan yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa merek inisiatif Menkes Budi Gunadi Sadikin itu menjadi hal yang paling disoroti, mengingat besarnya potensi kehancuran bagi perekonomian negara dan masyarakat luas.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun, menyoroti bagaimana kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek ini masuk pertimbangan dalam amanat RPMK. Padahal, kata dia, sangat jelas bahwa kebijakan tersebut telah melalaikan kepentingan petani, pekerja atau buruh, dan pedagang yang menggantungkan diri pada industri hasil tembakau.
“Dampak ekonomi yang signifikan ini malah menjadi sesuatu yang luput untuk dilihat oleh para pemangku kebijakan sehingga saya melihat ini adalah pendekatan yang tidak seimbang,” kata dia.
Misbakhun mengkritisi penggodokan kebijakan yang terjadi. Ia melihat hal ini menjadi dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kesepakatan segelintir negara-negara sebagai bentuk pengendalian tembakau. Tak pelak, politisi Golkar ini pun mempertanyakan dasar dari pembentukan kebijakan yang banyak menuai polemik ini.
Sejatinya Indonesia sendiri merupakan negara produsen tembakau, berbeda dengan negara lain sebagai konsumen tembakau yang memberlakukan kebijakan FCTC. Sebab itu, kata dia, seharusnya Indonesia punya kedaulatan penuh dan punya dasar untuk berani mengambil sikap untuk mengedepankan dan melindungi petani, pedagang, segala macam roda ekonomi yang berjalan dan menggantungkan diri pada industri tembakau. “Melindungi hak buruh dan petani adalah amanat konstitusi,” tegasnya.
Senada dengan Misbakhun, Nurhadi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem mengingatkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk mempertimbangkan dampak sosial dari kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK. Terlebih, di tengah kondisi ekonomi nasional saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
“Jangan sampai, kalau RPMK ini tidak dikoreksi atau dievaluasi, maka selain akan menyebabkan kegaduhan di dalam negeri, ini tentu juga akan berpotensi sekitar 6 juta pekerja tereduksi dan menambah rentetan jumlah PHK,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, menekankan pentingnya mempertahankan industri tembakau sebagai bagian dari identitas nasional. Dalam diskusi parlemen belum lama ini, Willy menyatakan bahwa industri tembakau melibatkan berbagai sektor, dari petani hingga industri ritel. Ia menekankan bahwa suatu kebijakan harus mempertimbangkan semua pihak dalam ekosistem ini dan perlu diambil dengan pendekatan partisipatif. “Kita butuh solusi triple win, di mana semua pihak diuntungkan,” katanya.
Willy juga menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh industri tembakau terkait pajak. Menurutnya, larangan merokok di beberapa tempat tidak mempertimbangkan kepentingan produsen dan konsumen tembakau yang merupakan salah satu penyumbang pajak terbesar.
“Hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara kontribusi pajak dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah,” paparnya.
Keprihatinan terhadap dampak RPMK juga disampaikan oleh Yahya Zaini, Anggota Komisi IX Fraksi Golkar. Ia menekankan bahwa peraturan ini dapat berakibat buruk bagi para petani, buruh pabrik, dan pedagang kecil yang bergantung pada industri tembakau.
Menurut Yahya, tembakau sebagai komoditas strategis telah memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan negara. Namun kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) akan terus-menerus membebani industri dan dapat mengurangi penerimaan negara di tahun mendatang.
Yahya mengusulkan tiga langkah strategis untuk meminimalisir dampak dari RPMK. Pertama, membangun opini publik yang seimbang untuk memberikan pandangan dari berbagai sisi, termasuk ekonomi dan cukai. Kedua, melakukan lobi politik oleh para pemilik pabrik rokok besar.
Terakhir, Yahya membuka opsi untuk melakukan judicial review terhadap PP 28/2024 maupun RPMK yang akan datang jika merasa keberatan. “Kalau merasa keberatan, jalur judicial review ke Mahkamah Agung bisa menjadi pilihan,” tandasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, para anggota DPR RI menyadari bahwa regulasi terkait tembakau harus sejalan dengan amanat konstitusi dan memperhatikan kepentingan seluruh pihak.
Kesimpulannya, meskipun ada urgensi untuk mengatur industri tembakau demi kesehatan masyarakat, penting untuk menciptakan regulasi yang adil dan tidak merugikan pihak-pihak yang bergantung pada industri ini. Dialog dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan yang mempertimbangkan dampaknya pada semua pihak.