Kebijakan Kemasan Polos, Upaya Diskriminatif terhadap Merek Dagang Rokok Elektronik
3 min readJakarta – Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, yang tertuang di dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, dianggap sebagai upaya diskriminatif pemerintah terhadap merek dagang (brand) rokok elektronik. Produk turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan itu perlu dikaji kembali karena juga akan mengancam kelangsungan pelaku usaha dan hak konsumen dalam memilih rokok elektronik yang terbukti lebih rendah risiko menurut berbagai penelitian.
Praktisi Merek & Pemasaran, Yuswohady, menjelaskan merek merupakan cerminan terhadap kualitas dan diferensiasi antara satu produk dan yang lainnya. Dengan penyeragaman menjadi kemasan tanpa identitas merek, maka akan merugikan pelaku usaha dan konsumen secara langsung. Bagi pelaku usaha, kelangsungan bisnisnya bakal terancam menurunkan omzet toko karena mendorong perilaku konsumen membeli produk yang murah, bukan berdasarkan pertimbangan atas kualitas produk. Adapun konsumen akan kebingungan dalam memilih produk berkualitas.
“Dampak terburuk dari penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek adalah hilangnya merek dagang. Dilihat dari sisi pemasaran, dampaknya akan banyak muncul produk murah. Yang dikhawatirkan konsumen mencari merek apapun yang cenderung murah. Jadi tidak bersaing soal kualitas, malah bersaing untuk harga murah,” jelas Yuswohady.
Secara paralel, Yuswohady melanjutkan, kehadiran produk rokok elektronik dengan harga murah akan memicu munculnya produk ilegal. Sebab, yang menjadi persaingan di pasar adalah harga murah, bukan berdasarkan kualitas produk. “Saya kira pasar rokok elektronik akan mengalami kemunduran karena produk legal akan bersaing dengan produk ilegal yang lebih murah,” ujarnya.
Yuswohady berharap pemerintah mengkaji kembali wacana kebijakan tersebut. Pertimbangannya, industri rokok elektronik melibatkan berbagai rantai nilai yang luas, salah satunya cukai yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Selain itu, terdapat pelaku usaha dan tenaga kerja yang sangat bergantung terhadap keberlangsungan industri tersebut. “Pemerintah perlu meninjau ulang aturan kemasan polos agar tidak merugikan pihak-pihak tertentu,” tegas dia.
Ketua Asosiasi Retail Vape Indonesia (Arvindo), Fachmi Kurnia, mengungkapkan bahwa penerapan kemasan polos akan berdampak langsung pada industri rokok elektronik di Indonesia, terutama bagi UMKM yang menjadi mayoritas pelaku usahanya. Hal ini juga berpotensi diskriminatif karena semua merek akan terlihat sama sehingga merugikan pelaku usaha yang telah berinvestasi dalam membangun brand image.
Hilangnya merek dagang akan merugikan produsen legal dan kreativitas usaha, yang akhirnya bisa melemahkan posisi industri lokal dalam persaingan di pasar. “Dengan menghilangkan karakteristik visual yang unik, merek dagang tidak lagi memiliki nilai diferensiasi, dan kreativitas terhadap membangun sebuah brand akan hilang,” ujar Fachmi.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta seperti dilansir dalam situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum RI, “merek” adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Dengan demikian, seluruh elemen tersebut merupakan bagian dari merek suatu produk. Pada RPMK tersebut, berbagai komponen merek didorong untuk tidak boleh ditampilkan pada kemasan produk tembakau dan rokok elektronik.
Lebih lanjut, Fachmi berpendapat aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dapat menghambat peralihan konsumen ke produk tembakau alternatif yang memiliki risiko lebih rendah. Saat ini konsumen masih kesulitan mengenali rokok elektronik yang legal, ditambah adanya kebijakan ini, maka dampaknya semakin mendorong maraknya produk ilegal dengan harga murah. Pada akhirnya, kebijakan tersebut akan merugikan pemerintah.
Senada dengan Yuswohady, ARVINDO mendesak agar pemerintah meninjau kembali aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dan melibatkan para pelaku usaha dalam diskusi. “Penting agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya efektif dalam melindungi kesehatan masyarakat tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan industri dan daya saing pelaku usaha,” tutup Fahmi.