November 7, 2024

Ekonomi Sulit, Industri Rokok Elektronik: Kemasan Polos Tanpa Merek Sebabkan Efek Domino Negatif

3 min read

Jakarta – Asosiasi pelaku usaha di industri rokok elektronik menyayangkan keputusan Kementerian Kesehatan menyusun kebijakan kemasan polos tanpa merek, yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, di tengah sulitnya ekonomi nasional. Produk turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan 17/2023 itu dinilai akan menciptakan efek domino negatif yang berdampak besar terhadap kepastian nasib industri rokok elektronik. Padahal, industri ini baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir sehingga masih butuh banyak dukungan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Ritel Vape Indonesia (Arvindo), Rifqi Habibie Putra, mengatakan kebijakan kemasan polos tanpa merek akan mendorong pertumbuhan produk-produk rokok elektronik ilegal di pasaran. Kondisi tersebut akan menekan penjualan produk-produk legal milik industri rokok elektronik. Dengan mayoritas pelaku usaha tergolong Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), industri rokok elektrik dalam negeri tidak akan mampu bertahan jika kebijakan kemasan polos tanpa merek ini diimplementasikan pemerintah.

“Pada akhirnya, produk-produk ilegal yang diuntungkan karena tidak membayar cukai. Apalagi mereka yang menjual produk ilegal secara online tidak peduli nasib industri dan tidak melakukan verifikasi terhadap pembeli apakah sudah berusia 21 tahun atau belum. Hal ini akhirnya menjadi permasalahan baru,” ujar Rifqi saat dihubungi.

Padahal, Rifqi meneruskan, produk-produk ilegal masih menjamur dan belum tertangani dengan baik oleh pemerintah. Dengan kondisi tersebut dan ditambah kebijakan kemasan polos tanpa polos, maka semakin memperbesar peluang migrasi pengguna rokok elektronik ke produk ilegal. “Efek jangka panjangnya adalah banyak toko-toko yang bisa jadi tutup. Sebagai pelaku usaha yang taat aturan, kami tidak mau jualan produk-produk ilegal non-cukai,” kata Rifqi.

“Pendapatan negara ujung-ujungnya jadi berkurang, karena user-user yang biasanya beli liquid dengan adanya pita cukai dan resmi, akhirnya mereka beralih ke black market,” Rifqi menambahkan.

Berdasarkan hasil studi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang mencakup aturan kemasan polos tanpa merek, jarak larangan penjualan, dan pembatasan Iklan, akan berdampak negatif pada kinerja industri, penerimaan negara, dan tenaga kerja.

Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, jika ketiga skenario itu diterapkan secara bersamaan, maka dampak ekonomi yang hilang diperkirakan mencapai Rp 308 triliun atau setara dengan 1,5% dari PDB.

Pertama, penerapan kemasan polos rokok yang menyebabkan downtrading sehingga memicu peralihan ke rokok ilegal lebih cepat. Kondisi ini bisa menurunkan permintaan produk rokok legal yang berpotensi kerugian sebesar Rp 182,2 triliun.

Kemudian, penerapan larangan berjualan rokok di sekitar fasilitas pendidikan yang akan berdampak kepada 33 persen pelaku ritel. Sehingga potensi kerugian yang dihitung sebesar Rp 84 triliun.

Ketiga, pembatasan iklan rokok yang bisa menurunkan permintaan jasa periklanan. Kondisi ini berpotensi menyumbang kerugian sebesar Rp 41,8 triliun.

Selain itu, dari sisi penerimaan negara, pemerintah berisiko kehilangan pendapatan pajak Rp 160,6 triliun atau sekitar 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional.

Rinciannya yakni, pertama, Rp 95,6 triliun akibat penerapan kebijakan kemasan polos. Kedua, Rp 43,5 triliun dari penerapan larangan berjualan di sekitar lingkungan pendidikan. Ketiga, Rp 21,5 triliun dari pembatasan iklan rokok.

Sehingga menurut Tauhid kondisi itu bisa mempengaruhi capaian pertumbuhan ekonomi sebesar lebih dari 5 persen seperti yang sudah ditargetkan pemerintah.

Menurut dia, target itu bisa saja sulit dicapai. “Berat kalau misalnya secara agregat kita ingin tumbuh di atas 5 persen. Tapi kita sudah berkurang totalnya hampir Rp 308 triliun,” ucapnya.

Tauhid kembali menyinggung soal kerugian pajak sebesar 7 persen yang disebutnya bukan angka kecil. Terlebih jika dibandingkan dengan rasio pajak (tax ratio) Indonesia sebesar 10 – 11 persen.

Dengan demikian, kebijakan kemasan polos tanpa merek yang tengah didorong Kemenkes untuk diimplementasikan bagi rokok elektronik dan produk tembakau seperti rokok ini akan berdampak sangat besar bagi seluruh aspek industri rokok elektronik, yang secara kolektif telah menyerap tenaga kerja dari sisi produksi hingga ritel.