July 26, 2024

Akademisi: Pentingnya Peranan Kajian Ilmiah dalam Pembuatan Regulasi

2 min read

Prof. Tikki Pangestu

Jakarta – Belum lama ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA AS) memberikan izin pemasaran bagi salah satu produk tembakau alternatif, yang merupakan produk tembakau yang dipanaskan. Keterbukaan pemerintah Amerika Serikat terhadap hadirnya produk tembakau alternatif dapat menjadi acuan bagi Indonesia, di mana masih terdapat persepsi yang keliru bahwa produk tembakau alternatif dianggap sama dengan rokok.

Setelah mengkaji bukti-bukti ilmiah selama beberapa tahun, FDA AS menetapkan salah satu produk tembakau yang dipanaskan sebagai produk tembakau dengan risiko yang dimodifikasi atau Modified Risk Tobacco Product (MRTP). Kerangka regulasi MRTP ditujukan bagi produk tembakau yang dipasarkan di AS untuk mengurangi bahaya atau risiko bagi pengguna. Jika diizinkan, maka label dan iklan produk tersebut dapat memuat informasi bahwa produk tersebut dapat mengurangi paparan atau risiko dibandingkan dengan merokok.

Menanggapi hal tersebut, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO sekaligus Visiting Professor di NUS’s Yong Loo Lin School of Medicine, Tikki Pangestu, berpendapat FDA AS telah mengeluarkan putusan penting di tengah perdebatan terhadap produk tembakau alternatif.

“Ini perkembangan yang penting dan sudah tepat waktunya. Izin tersebut membuktikan FDA AS telah menerima bukti ilmiah bahwa produk tersebut memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok guna melindungi dan mendukung kesehatan masyarakat terutama para perokok yang mengalami kesulitan untuk berhenti,” kata Tikki Pangestu saat dihubungi hubungi wartawan.

Tikki menjelaskan ada pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia terkait keputusan FDA AS, yaitu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia lebih terbuka dan berdasarkan pada bukti ilmiah. Selain itu, prinsip kebijakan harus proporsional dengan risiko kesehatan yang ditimbulkan.

“Konsep atau prinsip kebijakan harus proporsional dengan risiko kesehatan dari produk. Mencakup label, aturan pemasaran atau iklan, ruang penggunaan, tarif cukai, dan lainnya,” jelas Tikki.

Senada dengan Tikki, Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fathudin Kalimas, mengatakan para pembuat kebijakan di Indonesia perlu mendorong pembahasan regulasi produk tembakau alternatif yang diperkuat dengan kajian ilmiah. Saat ini, belum ada satu pun regulasi bagi produk tembakau alternatif yang berdasarkan kajian ilmiah.

“Kajian ilmiah penting untuk menjadi dasar dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Dengan menggunakan kajian ilmiah, kebijakan yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga diharapkan lebih bisa diterima semua pihak. Terlebih saat ini produk tembakau alternatif banyak menimbulkan perdebatan dan belum memiliki regulasi khusus,” ujar Fathudin.

Menurutnya hasil kajian ilmiah yang dilakukan di Indonesia dapat menjadi acuan dengan mempertimbangkan hasil kajian dari negara-negara lain sebagai referensi saat merumuskan kebijakan. “Selain kajian ilmiah, perumusah kebijakan juga perlu diperkuat oleh masukan dari para pemangku kepentingan seperti akademisi, praktisi kesehatan, pelaku usaha, asosiasi, dan konsumen,” kata Fathudin.