Akademisi: Pentingnya Kajian sebagai Informasi Dasar Pembuatan Regulasi
3 min readJakarta – Merokok sangat erat kaitannya dengan risiko penyakit tidak menular. Selama beberapa tahun terakhir, para peneliti maupun pelaku industri tembakau telah gencar melakukan berbagai inovasi untuk mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh rokok melalui produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.
Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki kebijakan yang spesifik mengatur ihwal produk tembakau alternatif sehingga belum ada kepastian untuk mendukung perkembangannya. Bahkan produk hasil inovasi ini juga sering menjadi bahan perdebatan lantaran kesimpangsiuran informasi dan kesulitan memperoleh acuan yang faktual.
Melihat fenomena tersebut, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekaligus Visiting Professor di NUS’s Yong Loo Lin School of Medicine, Profesor Tikki Pangestu mengakui perbedaan pendapat tidak hanya terjadi oleh berbagai kalangan di Indonesia saja, bahkan di mancanegara. Hal ini terlihat dari beberapa negara yang memiliki kebijakan berbeda dalam memandang inovasi produk tembakau alternatif.
“Perdebatan tentang pengurangan dampak negatif tembakau masih sangat kontroversial. Ini sebagian besar didasarkan pada argumen ideologis daripada ilmiah dan menjadi sangat emosional. Jadi terkadang cukup sulit untuk benar-benar melakukan dialog rasional tentang kebijakan lain yang diperlukan,” kata Prof. Tikki saat menjadi pembicara dalam diskusi mengenai penerapan prinsip pengurangan bahaya (harm reduction) dalam mengelola kesehatan masyarakat yang diselenggarakan Frost & Sullivan bersama dengan Malaysia Society for Harm Reduction (MSHR), pekan lalu.
Prof. Tikki mengatakan, produk tembakau alternatif ini harus dilihat sebagai strategi pelengkap untuk menghentikan masalah kesehatan akibat merokok. Dibutuhkan lebih banyak penelitian lokal yang berkualitas sebagai dasar untuk mengatur produk ini, terutama tentang berbagai dimensi produk alternatif untuk mengetahui profil risiko produknya yang dapat mengurangi dampak negatif penggunaan tembakau.
Menurut Prof. Tikki, banyak negara mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh WHO. Oleh karena itu, Ia juga berharap agar WHO bisa lebih terbuka terhadap bukti ilmiah yang telah menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko yang jauh lebih rendah dibandingkan rokok. Sehingga, nantinya akan banyak negara yang mengikuti arahan WHO yang lebih progresif dalam merumuskan kebijakan terkait produk tembakau alternatif.
Belum lama ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA AS) telah memberikan izin pemasaran dengan mencantumkan modifikasi risiko bagi salah satu produk tembakau alternatif. Setelah melakukan serangkaian kajian ilmiah selama beberapa tahun, FDA AS akhirnya menetapkan salah satu produk tembakau yang dipanaskan sebagai produk tembakau dengan risiko yang dimodifikasi atau Modified Risk Tobacco Product (MRTP).
“Saya pikir hal yang penting di sini bukan hanya karena FDA telah mengizinkan pemasaran bagi produk tembakau alternatif tersebut. Melainkan informasi bahwa dengan menggunakan produk alternatif, dapat mengurangi setengah dari paparan senyawa yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan,” kata Prof. Tikki.
Terpisah, ahli toksikologi Universitas Airlangga, Shoim Hidayat menjelaskan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki kandungan zat-zat kimia berbahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok. Proses pemanasan tembakau tersebut tidak menghasilkan asap seperti rokok melainkan aerosol atau uap sehingga kandungan zat kimia berbahaya pada produk tembakau yang dipanaskan lebih rendah dalam kuantitas dan kadarnya dari rokok konvensional.
“Jadi tidak bisa disebutkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan ini sama berbahayanya dengan rokok. Namun, inovasi tembakau alternatif juga harus tetap diimbangi dengan adanya regulasi berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif. Ini menjadi sangat penting agar penggunaannya tepat sasaran,” tegas Shoim.
Sikap FDA dalam meregulasi produk tembakau yang didasari oleh kajian ilmiah dapat menjadi panduan pembahasan intensif untuk membentuk aturan berbagai negara, termasuk Indonesia. Tujuan utama dari pembuatan kebijakan berlandaskan kajian ilmiah ialah untuk mencapai perlindungan kesehatan masyarakat yang lebih baik.