Rokok Murah Makin Populer dan Diminati
2 min readJakarta – Pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia menemui jalan terjal dengan menjamurnya rokok murah di masyarakat. Di tengah kenaikan tarif cukai setiap tahun, masyarakat masih punya banyak pilihan rokok dengan harga beragam, bahkan serbuan rokok murah semakin gencar.
Menurut Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrision, hal ini salah satunya disebabkan oleh struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang masih kompleks dengan sistem berlapis, sehingga rentang harga antara rokok paling mahal dan murah sangat lebar. Kesenjangan harga ini yang kemudian membuka peluang bagi masyarakat untuk membeli rokok yang paling murah.
Sebagai referensi, penetapan tarif cukai saat ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK.010/2022 dimana CHT terdiri dari 8 lapisan tarif. Pemerintah juga telah menetapkan batasan produksi masing-masing jenis rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.010/2017. Adapun batasan produksi golongan 2 untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) ditetapkan maksimal 3 miliar batang/tahun.
Vid mengatakan, “Kita saat ini ada 8 lapisan tarif, di mana tarif yang lebih rendah diberikan jika produksinya lebih sedikit. Kalau SPM dan SKM itu bedanya cuma di atas atau di bawah 3 miliar batang per tahun.”
Berdasarkan tarif cukai dan minimum HJE yang saat ini berlaku, satu pabrikan SKM golongan 2 dengan produksi 3 miliar batang dapat mencapai omset fantastis hingga lebih dari Rp 3 triliun dalam setahun.
Perbedaan tarif dan harga jual eceran antar golongan juga turut memperlebar jarak antara rokok di golongan tertinggi dengan rokok di golongan bawah. “Sudah tarif tertinggi, harga jual eceran minimumnya pun paling tinggi. Kalau di bawah 3 miliar batang per tahun maka cukainya lebih rendah. Sudah cukai lebih rendah, harga jual eceran minimumnya pun lebih rendah. Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk menjual rokok lebih murah dibandingkan di golongan 1,” ujarnya.
Ia pun memprediksi tren peralihan konsumsi rokok ke golongan yang lebih murah masih akan terus terjadi apabila struktur cukai tidak diperbaiki. “Kalau berlapis akan seperti ini terus. Tapi saya tidak yakin akan bisa satu tarif cukai, karena coba cari industri yang bisa memberikan kontribusi ke penerimaan negara sekitar 10%, hanya industri rokok tidak ada yang lain. Dari cukai saja 10% belum lagi kalau dihitung PPH dan PPN-nya,” katanya.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan struktuf tarif cukai berlapis memang merupakan sebuah masalah yang kontradiktif terhadap tujuan penerapan cukai.
“Masih berlapisnya struktur tarif cukai ini akan mengurangi efektivitas cukai untuk menekan konsumsi. Mestinya dengan harga rokok yang lebih mahal konsumen memilih berhenti, tetapi realitasnya mereka memilih membeli rokok dengan harga murah dari golongan 2 dan 3,” katanya.
“Selain masalah cukai yang berlapis, masalah kedua adalah gap harga tarif antar golongan. Secara tren, dari tahun 2021, 2022, 2023 perbedaan golongan 1 dengan golongan 2 semakin besar. Padahal, seharusnya gap tersebut semakin diperkecil agar golongan 2 semakin mendekati golongan 1,” katanya. Hal ini akan mendorong kenaikan harga di segmen rokok murah.
Untuk mengatasi ini, Risky merekomendasikan agar struktur tarif CHT disederhanakan, agar dapat mengeliminasi rokok murah di pasaran.
“Simplifikasi struktur tarif cukai bermanfaat untuk menekan konsumsi dan dengan sistem tarif yang simpel penerimaan negara akan makin optimal. Tidak hanya itu, persaingan industri juga makin sehat,” ucapnya.