Perda KTR Eksesif, Pelaku Usaha Sebut Ada Dorongan Asing
2 min readJakarta – Regulasi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) dinilai semakin eksesif bahkan melampaui peraturan tingkat nasional. Pengusaha dan petani tembakau mengatakan, ada indikasi dorongan lembaga asing dalam penyusunan Perda KTR dan peraturan serupa lainnya di berbagai daerah melalui program pendanaan.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengatakan, ada intervensi dari lembaga asing, Bloomberg, terhadap kebijakan pertembakauan di Indonesia termasuk regulasi Perda KTR. Aksi ini dilakukan Bloomberg melalui program pendanaan yang ditujukan bagi organisasi di berbagai negara dengan tujuan mengubah regulasi pertembakauan, seperti kenaikan cukai, larangan iklan dan promosi, serta penyusunan regulasi kawasan tanpa rokok.
“Memang mereka punya misi seperti itu. Bloomberg punya dana yang besar, dan mereka menggerakkan memberikan pengaruh. Gaprindo jelas tidak mendukung. Artinya kan itu suatu gerakan ikut campur terhadap kedaulatan negara, apalagi mengubah peraturan,” ujar Benny kepada wartawan.
Program pendanaan yang diinisiasi oleh Bloomberg bertajuk Tobacco Control Grants Program kembali dibuka bagi organisasi di beberapa negara, termasuk Indonesia sebagai salah satu dari sepuluh negara prioritas. Pendaftaran hibah dibuka Bloomberg selama 1-22 Agustus 2022 lalu. Bagi yang lolos seleksi, mereka akan menerima dana USD 25 ribu – 250 ribu per tahun. Beberapa lembaga swadaya masyarakat dan universitas di Indonesia tercatat telah menerima dana serupa pada tahun-tahun sebelumnya.
Menanggapi hal ini, menurut Benny, lembaga eksekutif daerah seharusnya bersikap mandiri dalam menyusun sebuah kebijakan. Ketika menyusun aturan pun, lanjut Benny, pemerintah daerah harus memperhatikan prinsip Good Regulation Practice dengan melakukan Regulation Impact Assessment agar kebijakan bersifat adil bagi semua pihak.
“Jadi, aturan itu dilihat dampak positif dan negatifnya, bukan atas dasar desakan atau pengaruh institusi, LSM, atau lembaga asing. Walaupun mereka punya concern terhadap kesehatan, tapi menurut saya ini juga terlalu jauh,” jelas Benny.
Benny juga menanggapi terkait absennya partisipasi publik dalam penyusunan regulasi KTR dan peraturan serupa lainnya. Ia menjelaskan, pengusaha tidak pernah dilibatkan dalam prosesnya. Menurut Benny, pemerintah daerah seharusnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan pada industri hasil tembakau dalam penyusunan regulasi yang menyangkut pertembakauan.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan intervensi kebijakan melalui kamuflase program pendanaan oleh Bloomberg akan membahayakan kondisi perekonomian negara. Seharusnya, menurut Trubus, pemerintah melindungi IHT yang bahkan saat pandemi pun menjadi penopang perekonomian negara.
“Menurut saya, ini satu program yang harus ditolak. Program ini membuka kotak pandora terkait banyaknya kebijakan larangan merokok di Indonesia. Tujuan programnya gamblang sekali, yaitu mendorong berbagai larangan produk tembakau tapi detail peruntukan dana jutaan dollar tersebut minim sekali disampaikan kepada publik. Hal ini sangat membahayaan apalagi kalau program langsung menyasar proses penyusunan kebijakan negara,” ungkap Trubus.
Trubus juga menjelaskan, regulasi KTR yang saat ini ramai didorong oleh beberapa daerah dicurigai adalah dorongan lembaga swadaya masyarakat yang dibiayai Bloomberg. Apalagi, Perda KTR saat ini cenderung lebih restriktif dan melampaui ketentuan di atasnya yaitu PP 109/2012.
“Kita harus hati-hati dalam menentukan regulasi kawasan tanpa rokok yang sedang disusun. Penyusunan ini dalam rangka untuk memperoleh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus,” kata dia.