Gerakan Mengawal Ruang Belajar Bebas Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
3 min readJakarta – Komunitas Pemuda Pelajar Merdeka menggelar diskusi virtual yang bertemakan “Gerakan Mengawal Ruang Belajar Aman dan Nyaman di Perguruan Tinggi” pada Ahad, 10 April 2022. Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber di antaranya Tim Tenaga Ahli Pencegahan dan Penanganan Seksual Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Rika Rosvianti, Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen RI dan Anggota Badan Legislasi DPR RI, Luluk Nur Hamidah, dan Koordinator Isu Perempuan dan Anak Pemuda Pelajar Merdeka, Kamelia Sambas.
Koordinator Nasional Pemuda Pelajar Merdeka, Rizal Maula, menjelaskan diskusi ini diselenggarakan lantaran masih maraknya kasus kekerasan seksual di kampus. Sebagai tempat untuk mencari ilmu, idealnya perguruan tinggi mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi mahasiswa, dosen maupun tenaga kependidikan. Untuk menekan kasus kekerasan seksual, maka diperlukan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan nasional.
“Angka kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat mengkhawatirkan dan menodai citra pendidikan nasional. Melalui diskusi ini, kami ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan, yang utamanya para aktivis mahasiswa, untuk bahu-membahu mencegah terjadinya kekerasan seksual demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi mahasiswa dan sivitas akademika perguruan tinggi,” kata Rizal dalam keterangan resminya.
Tim Tenaga Ahli Pencegahan dan Penanganan Seksual Kemendikbudristek, Rika Rosvianti, menyatakan Kemendikbudristek telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS). Regulasi ini hadir untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan. Khususnya para korban yang seringkali terputus pendidikannya karena kekerasan seksual.
“Aturan ini memastikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berorientasi pada kebutuhan korban. Dalam proses dan isinya, Permendikburistek PPKS menjaga prinsip inklusif, dan partisipatif dengan melibatkan jaringan masyarakat sipil yang bergerak di isu kekerasan, disabilitas, dan lintas iman. Mari kita #GerakBersama mendukung dan mengawal implementasinya untuk menciptakan kampus yang #AmanBersama,” kata Rika.
Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen RI dan Anggota Badan Legislasi DPR RI, Luluk Nur Hamidah, mengapresiasi keberadaan Permendikbudristek PPKS demi menciptakan ruang belajar yang aman di perguruan tinggi. “Permendikbudristek PPKS ini adalah kabar gembira dan mengisi kekosongan regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang belum ada secara spesifik di kampus. Ini bukan hanya terobosan, tapi revolusioner yang sangat jelas untuk melindungi para korban kekerasan seksual,” ucap Luluk.
Gerakan Mengawal Ruang Belajar Aman dan Nyaman
Koordinator Isu Perempuan dan Anak Pemuda Pelajar Merdeka, Kamelia Sambas, menjelaskan “Gerakan Mengawal Ruang Belajar Aman dan Nyaman di Perguruan Tinggi” telah memiliki 750 relawan. Para relawan tersebut nantinya secara serentak melakukan kampanye di media sosial untuk memberikan keyakinan kepada para korban maupun calon korban bahwa mereka tidak sendiri dan bisa menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya.
“Harapan kami Permendikbudristek PPKS tetap menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kami juga meminta hakim Mahkamah Agung bisa bijaksana dengan menolak gugatan judicial review terhadap Permendikbud PPKS agar tidak melemahkan peraturan ini dalam menciptakan ruang belajar aman dan nyaman di perguruan tinggi,” kata Kamelia.
Mengacu laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 2015-2020, kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Namun hanya 27% dari aduan yang diterima terjadi di jenjang perguruan tinggi. Berdasarkan 174 testimoni, dari 79 kampus di 29 kota, ada sebesar 89% perempuan dan 4% laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi juga menunjukkan ada 77% dosen menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual di kampus. Akan tetapi, 63% dari mereka tidak melaporkan kasus tersebut.