Ekonom Apresiasi Kebijakan Cukai Rokok 0% di 2025, Soroti Dampak Bagi Industri
2 min readJakarta – Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025 mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk kalangan ekonom, salah satunya adalah Prof. Chandra Fajri Ananda dari Universitas Brawijaya Malang. Ia menilai langkah pemerintah ini patut diapresiasi karena memberikan ruang lebih bagi industri tembakau untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.
Prof. Chandra mengungkapkan bahwa kenaikan cukai yang berlebihan dalam beberapa tahun terakhir, terutama yang mencapai dua digit, justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT. “Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan,” ujarnya. Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya ini menghimbau bahwa tidak adanya kenaikan CHT pada 2025 jangan sampai diikuti oleh kenaikan tarif cukai yang drastis pada 2026. “Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat,” tegasnya.
Prof. Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan CHT. “PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha,” ucapnya.
Di sisi lain, adanya rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) yang menimbulkan polemik dan mendapatkan penolakan dari berbagai pihak di industri tembakau juga menjadi sorotan Prof. Chandra. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya. “Kemasan (rokok polos) tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa tanpa identitas merek yang jelas, konsumen akan lebih sulit membedakan antara produk legal dan ilegal, yang dapat merugikan produsen resmi serta mengancam penerimaan negara. “Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, yang juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK),” jelas Prof. Chandra.
Di kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, turut menanggapi upaya pemerintah untuk tidak menaikkan CHT pada 2025. Menurutnya, kebijakan kenaikan cukai secara eksesif itu tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok.
“Karena yang terjadi adalah ketika pemerintah menaikkan cukai rokok, maka harga rokok jadi mahal. Tetapi, jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah lainnya, maka masyarakat akan melakukan downtrading, mereka membeli rokok yang lebih murah atau rokok ilegal yang dalam tanda kutip tidak bercukai,” jelasnya.
Kedepannya, Piter mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan kenaikan cukai yang tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang bersifat edukatif dapat semakin mendorong peralihan konsumsi ke rokok ilegal secara lebih cepat. Oleh karena itu, pemerintah disarankan untuk merumuskan kebijakan evaluasi yang lebih menyeluruh.