Terkendala Banyak Faktor, Standardisasi IPL Sulit Dilakukan
3 min readJakarta – Usulan penyeragaman atau standardisasi Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) di lingkungan rumah susun maupun apartemen sepertinya sulit dilakukan. Sebab, masing-masing komplek rumah susun atau apartemen memiliki karakter yang berbeda-beda, mulai dari jumlah unit yang berbeda, luas kawasan, hingga ketersediaan fasilitas.
Isu mengenai perlunya ada standardisasi IPL ini muncul dari banyaknya laporan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di tahun 2019 lalu. Dari 46 laporan yang masuk di tahun 2019, aduan paling banyak adalah mengenai IPL. Lalu ada juga mengenai pembentukan PPPSRS yang masih belum terlaksana hingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI DKI Jakarta Arvin Iskandar mengatakan, dengan berbeda-bedanya karakter setiap apartemen atau rusun akan sulit untuk menetapkan standardisasi IPL. Apalagi dalam Undang-undang (UU) No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, tidak ada aturan khusus mengenai standardisasi biaya pengelolaan.
“Tidak perlu (standardisasi IPL), tapi kebijakan dan aturan perlu ada dari pemerintah. Selanjutnya serahkan ke PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun),” kata Arvin, Selasa (18/8).
Ia mencontohkan biaya listrik yang menjadi salah satu komponen dalam IPL. Untuk menghindari keluhan mengenai tagihan listrik tersebut, sebaiknya setiap unit dipasangi meteran dengan sistem token sehingga penghuni bisa mengontrol dan bertanggung jawab terhadap penggunaan listrik di unit masing-masing.
“Tapi yang untuk penerangan fasilitas umum atau fasilitas bersama harus ditanggung secara bersama oleh seluruh penghuni,” ujar Arvin.
Seperti diketahui, praktik yang terjadi saat ini, dalam menyalurkan listrik, PLN menjual secara gelondongan kepada pengelola apartemen. Kemudian pengelola mendistribusikan dan menagih pembayaran listrik kepada penghuni atas penggunaan listrik yang mereka pakai.
Senior Associate Director Real Estate Management Services Colliers Andy Harsanto mengatakan permasalahan IPL memang kerap muncul dalam tata kelola rusun atau apartemen, terutama yang berada di segmen kelas menengah dan menengah ke bawah. Namun menurut Andy besaran atau tarif IPL biasanya sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama sehingga seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan.
Sebab besaran IPL yang tidak sesuai, akan membawa dampak terhadap perawatan gedung yang jika tidak dirawat dengan benar maka bisa terjadi insiden yang membahayakan penghuni itu sendiri. Apalagi untuk unit yang sudah 100% terjual, pengembang tidak lagi ikut dalam pembiayaan perawatan.
“Untuk itu dalam perawatan, baik rusun maupun apartemen dibutuhkan simpanan jangka panjang atau sinking fund untuk menjaga pengelolaan lingkungan tetap baik. Perawatan lift, kalau AC central di unit sih gak, paling untuk koridor-koridor, tapi itu juga cukup memakan biaya. Lalu, pengecatan berkala kalau sudah 3-5 tahun biasanya terlihat kusam tuh dan biayanya bisa miliaran. Itu mau ngeluarin duit gimana kalau tidak nabung dari sekarang,” ujar Andy.
Oleh karena itu, lanjut Andy, harus ada transparansi/akuntabilitas publik agar kepercayaan terhadap pengelola terbangun. Untuk besaran IPL pun mengacu pada UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, di mana biaya pengelolaan ditentukan oleh masing-masing pengelola dan penghuninya dengan konsep transparansi sesuai kebutuhan. “Untuk besarannya biaya kelola disesuaikan dengan kelasnya, ya bintang lima tapi pengelolaan kaki lima ya bonyok perusahaan,” jelas Andy.
Sementara mengenai pembentukan PPPSRS yang banyak belum terwujud, Andy mengatakan memang banyak apartemen yang sudah merencanakan pembentukan namun belum bisa terealisasi karena adanya Covid-19. Sehingga apabila dilakukan secara virtual belum dapat dipastikan apakah bisa dikatakan resmi atau tidak. “Ini masih dalam diskusi dengan pihak dinas juga, jadi memang belum bisa,” kata Andy.
Arvin menambahkan, pemerintah melalui dinas perumahan memang harus lebih aktif mengawal pembentukan PPPSRS. Misalnya untuk wilayah DKI Jakarta. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 133 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 132 Tahun 2018 mengenai Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik (Rusunami), dalam kurun waktu satu tahun PPPSRS sementara harus segera dibentuk dan melakukan serah terima dengan pengurus resmi.
Aktifnya dinas mendampingi pembentukan PPPSRS juga untuk memininalisir adanya maladminitrasi di PPPSRS. “Pemerintah juga harus segera mengurus perizinan dan sertifikasi agar dapat dilaksanakan lebih cepat sehingga tidak ada kendala dikemudian hari,” pungkas Arvin.