Permohonan PK Alex Denni Jadi Momentum Perbaikan Sistem Peradilan, Hakim Diminta Gerak Cepat
4 min readBandung – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung akan mengirimkan berkas perkara permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Alex Denni dalam waktu dua minggu sejak penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan PK.
Dalam sidang yang digelar hari ini, Kamis (28/11), telah dilaksanakan penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan PK oleh Alex Denni, Tim Advokasi untuk Reformasi Peradilan: Disparitas Putusan selaku Penasihat Hukum Pemohon PK, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. Hal ini menandai bahwa pemeriksaan permohonan PK Alex Denni dan berkas perkara telah selesai.
“Untuk selanjutnya, kami akan bermusyawarah untuk memberikan pendapat dan kemudian melimpahkan berkas perkara ini ke Mahkamah Agung (MA). Mudah-mudahan dalam waktu dua minggu kami bisa mengirim ke MA,” ujar Ketua Majelis Hakim Panji Surono sebelum mengetuk palu yang menandai selesainya sidang, Kamis (28/11).
Gading Yonggar Ditya, Penasihat Hukum Alex Denni dari Tim Advokasi untuk Reformasi Peradilan: Disparitas Putusan, mengatakan, pihaknya berharap agar Majelis Hakim di PN Bandung bisa sesegera mungkin meneruskan berkas perkara permohonan PK Alex Denni ke MA agar dapat segera diperiksa dan diputus oleh MA. Sebab, kasus Alex Denni ini menjadi salah satu momentum untuk perbaikan sistem peradilan di Indonesia.
“Kami berharap sebelum dua minggu sudah bisa dikirim ke MA. Hal tersebut akan memberikan sinyal bahwa Majelis Hakim menyikapi kasus Alex Denni ini dengan serius dan mendukung terciptanya reformasi peradilan di Indonesia,” tegas Gading.
Kasus yang dialami Alex Denni memang dinilai penuh kejanggalan. Putusan terhadap Alex Denni baik di tingkat banding maupun kasasi bertolak belakang dengan putusan terhadap dua terdakwa lain yang merupakan pejabat PT Telkom Indonesia Tbk (Telkom), yakni Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.
Ahli Hukum Pidana dari Universitas Pancasila Rocky Marbun mengatakan, berdasarkan eksaminasi yang ia lakukan terhadap putusan Agus Utoyo, Tengky Hedi Safinah, dan Alex Denni baik di tingkat pertama, banding, hingga tingkat kasasi, ditemukan sejumlah kejanggalan yang berujung pada terjadinya disparitas putusan. Kejanggalan terjadi baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara, hingga substansi putusan.
Sejak awal, perkara Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah, dan Alex Denni dipisah alias splitsing meski ketiganya didakwa pada peristiwa atau perbuatan yang sama dengan unsur penyertaan, yakni tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. Di tingkat pertama, ketiga perkara diperiksa oleh majelis hakim yang sama. Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan bersalah dan divonis 1,5 tahun penjara. Sementara Alex Denni selaku konsultan swasta diputus bersalah karena dianggap turut serta dalam rangkaian peristiwa tersebut dengan vonis 1 tahun penjara.
Di tingkat banding, dua pejabat Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara. Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta swasta dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan malah tetap dinyatakan bersalah.
Menurut Rocky, putusan yang saling bertentangan itu disebabkan susunan majelis hakim yang berbeda. Berdasarkan penelusuran Rocky, susunan majelis hakim yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah di tingkat banding berbeda dengan majelis hakim yang memeriksa Alex Denni. Akibatnya, putusan tingkat banding untuk Alex Denni berbanding terbalik dengan putusan untuk Agus Utoyo dan Tengku Hadi Safinah.
Di tingkat kasasi, Rocky menyebutkan, komposisi majelis hakim juga berbeda. Terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah diperiksa dan diputus oleh Ketua Majelis yang sama. Sedangkan terdakwa Alex Denni diperiksa dan diputus oleh Ketua Majelis yang berbeda.
“Setelah saya telusuri, perbedaan majelis hakim tersebut dikarenakan hakim yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah telah pensiun pada 2012,” ujar Rocky dalam keterangannya.
Menurut Rocky, perbedaan susunan majelis hakim tersebut tidak bisa dilepaskan dari kejanggalan perbedaan waktu pemeriksaan di tingkat kasasi antara terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dengan terdakwa Alex Denni. Pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi untuk Agus Utoyo maupun Tengku Hedi Safinah dilakukan pada November 2007.
Sementara Alex Denni baru memperoleh pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi pada Februari 2012 meski telah diputus pada 2008. Menurut Rocky, jika pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi dilakukan lebih awal, misalkan di 2010, hakim yang memeriksa Alex Denni di tingkat kasasi pasti akan sama dengan yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.
“Saya melihat, dari teknis administrasi peradilan mulai banding hingga kasasi, ada yang ditutupi supaya hakimnya tetap beda. Ada skenario membedakan hakim sehingga terjadi perbedaan putusan,” kata Rocky.
Berbagai kejanggalan tersebut menguatkan dugaan adanya rekayasa hukum dalam kasus Alex Denni. Dalam analisisnya mengenai pengenaan Pasal 55 ayat 1 KUHP mengenai pidana penyertaan, Rocky menyebutkan, ketiga terdakwa semestinya sama-sama bebas. Namun, karena perbedaan majelis hakim, hanya Alex Denni yang dinyatakan bersalah.
Akibatnya, kata Rocky, persepsi yang muncul adalah Alex Denni merupakan pelaku tunggal dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini tidak konsisten dengan dakwaan Pasal 55 KUHP.
“Kelihatan bahwa dalam kasus ini ada rekayasa meski secara ilmu hukum saya tidak bisa menjustifikasi hal itu. Secara semiotik, tampak bahwa pemberitahuan ditunda sampai hakim yang memeriksa kedua terdakwa sebelumnya pensiun,” kata Rocky.
Selain kental dengan dugaan rekayasa, Rocky menambahkan, kasus yang dialami Alex Denni juga mengandung aspek pelanggaran HAM yang tinggi. Sebab, Alex Denni harus menunggu selama empat tahun untuk mendapatkan pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi. Ia juga harus menunggu selama 11 tahun untuk mendapatkan pemberitahuan putusan kasasi.
“Dengan empat tahun baru disampaikan pemberitahuan banding kemudian baru dieksekusi setelah 11 tahun putusan kasasi, orang dibuat dalam posisi ketidakpastian hukum selama belasan tahun. Selama belasan tahun, orang tersebut juga tidak mendapatkan keadilan. Ini jelas pelanggaran HAM,” tegas Rocky.(*)